<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d4909163925600774906\x26blogName\x3d::+ada+Ri@Ni+::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://adariani.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3dnl_NL\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://adariani.blogspot.com/\x26vt\x3d-5029570160817150727', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 | 
hits |  online
cerita | opini | blog
:: sekelumit catatan

Bahaya Novel Roman

Sebagai penulis, saya sebenarnya bingung apa yang akan saya tulis selanjutnya sebagai penerus novel debut saya. Pemilihan tema menjadi kerikil tajam yang menghalangi laju kreativitas saya, selain waktu yang banyak tersita untuk kuliah. Tempo lalu, salah seorang editor mengatakan, novel komedi adalah yang paling laris selain novel romantis.

Novel komedi? Saya sadar saya bukan orang yang jago ngebodor, jadi saya tidak akan mengambil tema itu. Lagipula lucu itu relatif, tiap orang memiliki standar masing-masing dalam memilih hal yang bisa membuat mereka tertawa.

Nah, novel romantis?



Ooouuugggghhhh........... wat moet ik zeggen?
Apa yang harus saya katakan?

Jika membayangkan novel-novel romantis, yang terpikirkan di benak saya adalah tumpukan buku-buku bersampul gambar orang-orang dengan warna-warna meriah beserta judul yang sedikit picisan. Begitu banyak pilihan, malah terlalu banyak. Dan tumpukan buku itu hanya membahas satu hal: Romantisme. Hey, apakah kita sebagai manusia hidup untuk cinta?

Saya memang bukan tipe orang yang antiromantisme. Semua orang butuh romantisme, tapi bukan berarti hidup untuk itu. Saya mengerti sekali bahwa penggemar romatisme adalah kalangan perempuan (ok, that's my CLAN :lol:) yang terinstal oleh Tuhan sebagai makhluk yang emotif. Beda dengan lelaki yang pada dasarnya merupakan makhluk rasional; maka jarang lelaki yang tertarik dengan novel romantis.

Dari satu buku psikologi yang saya baca, perempuan cenderung idealis, sementara lelaki cenderung realis. Perempuan memperlakukan diri dan sekitarnya sesuai dengan apa yang dia harapkan, sementara lelaki memperlakukan diri dan sekitarnya sesuai dengan apa adanya (bahkan nyaris seadanya). Harapan-harapan itu muncul dari apa-apa yang perempuan anggap hal yang 'baik', termasuk stereotipe 'prince charming' yang kebanyakan sudah dikenal perempuan sejak kecil dari dongeng-dongeng tentang putri dan pangeran. Pangeran yang tampan, baik hati, selalu memperlakukan putri secara agung, mendewikan sang putri, cinta sampai mati. Kasarnya, novel roman bisa jadi merupakan penerus dari dongeng-dongeng seperti itu.

Novel-novel roman pada umumnya menceritakan hal-hal yang ideal: cewek cantik pasti ketemunya sama cowok cakep; secara fisik maupun hatinya. Atau cerita tentang cinta segitiga, segiempat dan segi-berapapun. Cewek buruk rupa tapi cantik jiwa bertemu dengan cowok cakep tapi sifatnya amit-amit, atau sebaliknya, kemudian mereka mengalami berbagai kejadian yang akhirnya membuat mereka saling menyukai. Si cowok menyatakan cinta, dan si cewek dengan berlinang air mata bahagia menerimanya. And they lived happily ever after.

The End. Selesai.

Dan buku itu saya buang ke tong sampah simpan kembali di rak buku hingga bertahun-tahun tak tersentuh lagi. :P

Oke, mungkin saya terlalu menggeneralisir. Masih ada sih, beberapa novel roman yang berkualitas, meskipun temanya sepele namun bisa diceritakan dengan baik. Tapi, semakin banyak perempuan membaca novel romantis yang membuat mereka 'melangit', semakin tinggi pula standar mereka dalam berhubungan dengan pasangannya. Mereka jadi 'ingin diperlakukan seperti yang di dalam novel', padahal belum tentu pasangannya bisa melakukan hal yang sama (apalagi kalau benar-benar nggak romantis). Buat saya, itu sedikit banyak berbahaya. Perempuan semakin terbawa arus romatisme yang mendayu-dayu meninggalkan realitas dunia dan terutama pasangannya.

Mungkin karena begitu idealisnya cerita romantis, maka saya kurang menyukai novel roman. Kadang terlalu utopis, terlalu dibuat-buat, hingga saya jadi jenuh membacanya. Tidak adakah cerita lain?

Bagaimanapun, standar romantis (lagi-lagi) relatif buat tiap orang. Tentu saja saya tidak bisa menggugat pembaca untuk tidak usah membaca novel roman. Paling tidak, bacalah novel untuk memperkaya imajinasi dan wawasan berpikir ataupun hiburan semata, bukan dijadikan sebagai pegangan dan tolak ukur: hanya Kitab Suci yang pantas diperlakukan seperti itu.



Jadi...
saya nulis apa dong??? :P

Labels: , ,

~ 13 december 2006 | 19:30 ~
:: jalan pintas