<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d4909163925600774906\x26blogName\x3d::+ada+Ri@Ni+::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://adariani.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3dnl_NL\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://adariani.blogspot.com/\x26vt\x3d-5029570160817150727', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 | 
hits |  online
cerita | opini | blog
:: sekelumit catatan

New Hope, New Beginning

Baru selang tiga hari setelah saya mengikuti MaPres. Walaupun sudah berlalu dan hasilnya sudah diketahui, saya masih ada suatu perasaan aneh yang menggangu saya. Saya selalu bertanya-tanya: 'Salah gue di mana sih?' Memang saya sudah mengetahui letak kesalahan saya di mana seperti di post sebelumnya, tapi tetap saja saya nggak mengerti. Rasanya ada hal yang harus ditanyakan sekali lagi, dan ini menyangkut diri saya sendiri. Kekecewaan itu terus membuat saya penasaran, hingga membawa saya ke kantor program studi tempat salah satu dosen saya, Mbak Titi, yang juga menjadi saya satu juri di tes prestatif. Setelah kemarin gagal, hari ini saya akhirnya bisa menemui beliau.

"Mbak," saya memulai setelah duduk di kursi [kami mahasiswa biasa memanggil dosen-dosen dengan sebutan Mbak/Mas supaya lebih akrab]. "Saya pengen tahu kesalahan saya waktu di MaPres."

"Sebenarnya tidak ada yang salah," jawab Mbak Titi. Tangannya menyilang di atas meja kerjanya, serius menatap saya tajam.

Saya bingung. "Maksudnya...?"

"Nggak ada yang salah dengan kamu," kata beliau, "cuma penampilan kamu kurang mendukung. Kurang senyum, ekspresi tegang banget, kurang menampakkan keyakinan yang menunjukkan bahwa kamu layak jadi MaPres. Karena MaPres, selain pintar dan berprestasi, juga harus bersemangat dan percaya diri."

Selama 30 menit kami berbicara. Saya menceritakan soal kedua tes yang saya jalani, Mbak Titi menjelaskan bagaimana para juri menilai. Dari obrolan itu, saya menemukan diri saya bahwa memang sejak awal saya tidak layak. Semua hal yang menyebabkan saya gagal tetap bermuara pada makalah saya sendiri, yang memang dibuat tanpa persiapan matang dan terburu-buru. Tapi toh, saya merasa itu bukan murni salah saya, karena saya merasa ditodong ditunjuk secara mendadak. Pun saya mendapatkan kesempatan itu setelah teman-teman lain mengundurkan diri; seakan saya cuma dapat 'muntahan' saja. Oke, itu memang sekedar alasan jika saya mencoba membela diri.

Lalu Mas Is, ketua program studi, datang setelah Jumatan dan ikut berbicara setelah Mbak Titi meminta persetujuan beliau tentang makalah. Di depan saya, Mas Is dan Mbak Titi menumpahkan uneg-uneg bahwa begitu berbeda kualitas mahasiswa Sejarah UI dengan dosennya. Sementara para dosen berhasil memperoleh penghargaan dalam berbagai lomba penelitian, apa yang bisa dilakukan mahasiswa? Dari contoh kecil dari makalah-makalah yang dibuat mahasiswa sebagai tugas, semuanya menyedihkan karena terlihat sekali dibuat asal-asalan. Dan untuk itu, Mas Is mau tak mau harus mengatrol nilai supaya mahasiswa ybs. bisa lulus [saya berpikir, 'jadi nilai C+ itu udah dikatrol?!']. "Coba aja, kalo Pak Nugroho (Notosusanto) masih hidup," kata beliau, "dari 40 mahasiswa, bisa jadi 39 nggak lulus kalau kualitasnya kayak gini!"

Saya bilang, memang kekurangan mahasiswa sejarah dan saya rasakan sendiri adalah membuat makalah ilmiah. Bahkan harus saya akui saya nggak ngerti teknik-teknik bagaimana membuat makalah ilmiah. Kalau mau meminta bantuan dosen sih bisa saja, tapi berarti perlu waktu khusus untuk itu. Ditambah juga oleh Mbak Titi bahwa mahasiswa jurusan lain yang ikut MaPres pasti mempunyai dosen pembimbing untuk membantu membuat makalah. Hey, I didn't have that!! "Makanya ini juga pelajaran buat kita," tambah Mbak Titi, "supaya mahasiswa sudah dipersiapkan dari awal tahun ajaran untuk MaPres."

Setelah pamit dari kantor jurusan, kepala saya penuh dengan berbagai pikiran. Kekecewaan saya malah makin melebar, setelah sadar bahwa semua nilai yang saya dapatkan hingga memperoleh IPK di atas 3 adalah berkat pengasihan para dosen. Itu menyedihkan buat saya, menyadari bahwa selama ini ternyata saya kuliah dengan memperoleh nilai 'belas kasihan'. Kalau mengingat bagaimana saya belajar selama ini yang insidental, rasanya semuanya jadi sia-sia. Saya langsung merasa nggak pantas menyandang gelar 'mahasiswa UI' jika saya nggak mengubah kebiasaan buruk saya dalam belajar. Hingga kuliah siang berakhir, saya masih terpaku pada pemikiran itu. Saya sadar ada hal terpenting dari diri saya yang harus saya perbaiki.

Setelah memfotokopi bahan kuliah, saya kembali ke kantor jurusan untuk mengembalikan masternya. Di tengah jalan saya bertemu lagi dengan Mbak Titi.

"Emm... Mbak," panggil saya, "apa saya masih ada kesempatan lagi... tahun depan?"

"MaPres rutin diadakan setiap tahun," jawab beliau. "Nah, akhirnya kamu ngerasain juga kan, gimana nggak enaknya kalau mengerjakan sesuatu tergesa-gesa?"

Saya tersenyum malu. "Iya, Mbak."

"Ya sudah, kalau kamu masih mau coba tahun depan, nanti saya rekomendasikan kamu sama Mas Didik supaya bisa ikutan lagi."

"Iya," jawab saya. "Makasih ya, Mbak." Mbak Titi pun berlalu.

Rasanya ada semangat yang meluap di diri saya. Saya pun berjalan pulang dengan semangat baru itu. Senang rasanya mengetahui bahwa saya masih punya kesempatan untuk memperbaiki diri, supaya saya bisa berubah menjadi orang yang lebih baik lagi. Tuhan ternyata masih sayang sama saya yang masih sering bolos sembahyang.

Dan saya akan berusaha nggak belajar secara SKS [Sistem Kebut Semalam] lagi. :P

Labels: , ,


selengkapnya.....
~ 23 februari 2007 | 21:19 ~

Menulis adalah Perjuangan

Meskipun pengalaman ini saya alami kemarin, tapi tak apalah kalau saya baru menuliskannya di sini sekarang. Kemarin saya mengikuti seleksi Mahasiswa Berprestasi [MaPres; ada yang diplesetkan sebagai Mahasiswa Depresi XP] selama sehari penuh, dari jam 9 pagi hingga 6 sore, alhasil saya baru sampai di rumah malam jam 8. Benar-benar hari yang melelahkan, super stress hingga saya masuk angin dan tidak bisa kuliah hari ini. Walaupun saya nggak berhasil masuk 12 besar dalam penyisihan itu [dari 31 peserta, saya memegang nomor 31 XP], ada banyak hal yang dapat dijadikan pengalaman berharga saya, terutama dalam menulis.

Dalam penyisihan MaPres, saya menjalani tiga tes, yaitu tes prestatif atau kepribadian, tes karya tulis dan tes bahasa Inggris. Ketiganya mengambil objek makalah saya sendiri yang saya ajukan beberapa minggu lalu saat pendaftaran peserta. Tema yang diminta adalah etos kerja untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam pembangunan, diutamakan berkaitan dengan Yogyakarta. Saya menulis tentang Yogya zaman revolusi tahun '46, dengan merefleksikan mentalitas orang-orang zaman dulu dalam berjuang. Maksud saya, tanpa mentalitas yang teguh, etos kerja bakal menurun sehingga tidak ada daya saing dan pembangunan pasti terhambat. Apalagi di zaman sekarang yang begitu materialistis, saya memandang perlu untuk bercermin dari sejarah.

Selama sehari penuh saya menjalani tiga tes itu. Walaupun suasananya seperti sidang skripsi, namun saya mendapat banyak masukan dari para juri yang juga dosen-dosen fakultas. Pada tes prestatif, makalah saya dinilai menjabarkan sejarah dengan jelas, namun dari cara menulis terkesan terburu-buru. Ditanya pula opini saya jika Yogya dijadikan ibukota permanen, serta antusiasme saya mengikuti MaPres. Pada tes karya tulis, selama lima menit saya menjabarkan isi makalah, kemudian para juri memberikan penilaian yang cukup menyesakkan: tidak ada sistematika sehingga kurang terfokus dan kurang menarik secara ilmiah, masalah yang dibahas tidak menyinggung tema besarnya, bahkan dikatakan lebih cocok dimuat di koran daripada diajukan sebagai makalah ilmiah [damn..] -_- Pada tes bahasa Inggris, saya ditanya apa isi makalah saya dan pertanyaan subjektif salah satu juri yang bilang apa benar kita berjuang atau sekedar keberuntungan, setelah selama 350 tahun dijajah Belanda dan 3,5 tahun dijajah Jepang. Saya dalam hati tertawa, sambil menjawab bahwa saya memfokuskan masalah di masa Revolusi yang jelas-jelas menghadapi perang hingga dua kali. Tiga tes selesai jam 3 sore, saya kemudian menunggu hingga jam 6 untuk pengumuman dan akhirnya saya tahu saya tidak lolos seleksi bersama 18 peserta lainnya. Lebih dari separuh jumlah peserta gugur.

Kecewa? Jelas. Karena saya kelelahan lahir dan batin selama hari itu. Namun dari sini saya bisa mengerti bahwa menulis sebenarnya bukan pekerjaan gampangan. Menulis adalah bagaimana saya memperjuangkan tulisan saya sendiri di hadapan pembaca ataupun orang lain. Menyalurkan gagasan lewat tulisan yang sistematis dan ilmiah nggak segampang menulis secara populer; penulis harus bisa menempatkan tulisannya dalam suasana ilmiah atau populer. Dari tulisan pun orang bisa memahami bagaimana cara penulisnya berpikir dan berkepribadian. Selain itu, saya sadar bahwa hari itu adalah hari di mana saya 'berjuang' demi tulisan saya, sehingga apapun yang ditulis tidak bisa hanya sekedar menulis, karena penulis juga harus bisa mempertanggungjawabkan semua isinya.

Yah, rasanya memang seperti mempertaruhkan antara hidup dan mati saja. Walaupun hasilnya mengecewakan, saya jadi mendapatkan hal-hal yang baik untuk dijadikan pelajaran, terutama dalam menulis. Menulis mencerminkan kesabaran penulisnya dalam merangkai gagasan secara tertulis, sehingga wajar dia dibayar mahal untuk itu. Mungkin sejak saat ini, saya pasti akan tersinggung berat kalau ada orang sok tahu yang bilang kalau menulis itu pekerjaan gampang yang nggak perlu tahu gimana tekniknya.

Your pen is your sword.
Your paper is your battle field.
Then write now, because writing is your fighting.

Labels: , ,


selengkapnya.....
~ 21 februari 2007 | 10:32 ~

(Nggak) Sesuai Rencana

Pagi-pagi saya (lagi-lagi) berada di depan komputer lab internet perpustakaan kampus. Terhitung minggu ini sudah dua kali saya datang pagi-pagi untuk kuliah [apalagi fakultas saya termasuk fakultas yang jam mulai belajarnya paling pagi se-kampus] dan tidak ada kuliah. Yup, tidak ada. Saya sendiri nggak ngerti ada yang salah di mana: saya yang harus datang subuh atau dosennya yang sering telat datang atau malah bolos. Mana saya juga belum pernah diajar oleh dosen ybs., jadi mau komplain pun susah.

Yang pasti, ketidakjelasan kuliah seperti ini cukup mengganggu mood saya untuk kuliah. Saya, yang sedikit angin-anginan dalam kuliah, jadi tambah malas. Dan saya nggak menyukai suasana seperti itu. Bukan bermaksud sok rajin, tapi saya merasa rugi karena membuang-buang waktu dan tenaga. Saya sendiri sudah cukup terbebani dengan kuliah yang makin lama makin rumit dan harus membuat skripsi tahun depan. Menulis skripsi bertema sejarah zaman kolonial Belanda yang harus menggaruk-garuk arsip dan dokumen berbahasa Belanda abad XIX-XX dan buku-buku lain yang tebalnya ratusan halaman tentunya nggak semudah menulis novel biasa. Makanya saya paling sebal jika ada jadwal kuliah yang berpindah tanpa pemberitahuan ataupun kuliah yang mendadak dibatalkan gara-gara kurang peminat. Rasanya seperti sia-sia.

Yah... tapi mau diapakan lagi?

Labels: ,


selengkapnya.....
~ 15 februari 2007 | 08:36 ~

Finally

Akhirnya persiapan blog ini selesai. Layout secara garis besar sudah, isi sudah, tinggal dibenerin sana-sini kalau ada tag yang nggak bener, nggak ada, atau nggak jelas [maksudnya kayak ada debug atau missing link gitu]. Terakhir, tinggal promosi deh, sambil updating fave. links dan embel-embel lainnya macam shoutbox.

Duh, paling bingung sama yang namanya promosi. Saya nggak ada bakat berdagang sih. Promosi diri sendiri aja susah, apalagi dagangan. Yang saya tahu, blog bisa jadi alat promosi paling oke tanpa perlu jadi narsis [umm... menceritakan diri sendiri termasuk narsis, bukan? Kalau saya minta pendapat orang lain, rata-rata menjawab demikian]. Seperti postingan pertama saya dulu.

Hehehe... jujur saja sekarang saya bingung mau cerita apa. Layout belum sepenuhnya beres. Lanjut ke posting berikutnya saja ya... ^^

Labels:


selengkapnya.....
~ 09 februari 2007 | 15:03 ~

Blup...blup...blup...

Banjir melanda Jakarta, untuk kesekian kalinya. Waktu menulis kalimat tadi, sebenarnya ada perasaan jangan-jangan orang sudah bosan membaca headlines di media massa yang juga menuliskan hal yang sama. Bukan ingin sombong, tapi alhamdulillah kawasan rumah saya termasuk yang beruntung tidak tersapu banjir. Karena kalau sampai banjir, bisa dipastikan Jakarta tenggelam. Mungkin juga bakal terjadi lagi hijrah pemerintahan dari Jakarta ke Yogyakarta. Well, who knows? :P Salam dari saya buat semua yang terkena musibah banjir, semoga Tuhan tetap melindungi kalian supaya tetap bersemangat mengatasi ujian ini.

Mudah-mudahan dari musibah ini Pemda DKI bisa mencurahkan sedikit waktu untuk membahas penanganan drainage kota ini. Oke, Jakarta tiap tahun memang kebanjiran, tapi masa kita berdiam diri saja? Tak adakah tindakan yang dapat dilakukan [kadang saya suka malu terhadap orang-orang terdekat saya yang bilang, "Ah, ngapain tinggal di Jakarta? Udah biaya hidup mahal, langganan banjir lagi!" Tapi toh masih ada saja kaum urban yang berdatangan hingga bikin Jakarta makin sesak ]? Mungkin Pemda harus minta blueprint dari Belanda tentang dokumentasi drainage kota Batavia tempo dulu, supaya tidak ada banjir tahunan dan siklus lima tahunan. Belanda sejak dulu memang ahlinya membuat kanal dan bendungan, termasuk pintu-pintu air yang masih ada di Jakarta.

Yang jelas, keledai saja tidak akan membuat kesalahan lebih dari dua kali.

Walaupun beruntung karena rumah tidak terendam banjir, namun dampak buruk buat saya adalah saya tidak bisa pergi ke mana-mana, termasuk ke kampus hari ini. KRL jurusan Jakarta-Bogor memang masih beroperasi berkat info dari teman yang ayahnya kepala stasiun Kota, namun orang tua saya tidak ingin mengambil risiko saya nggak bisa kembali pulang. Mau tak mau saya menurut, tapi hari ini mestinya adalah hari pertama kuliah semester VI. Awal semester ini merupakan awal yang paling nggak jelas karena saya nggak ngerti harus kuliah apa. Jadwal kuliah lewat internet juga nggak jelas, selain PA yang bersikap sebodo teuing.

Yang menyebalkan dari musim hujan adalah udara yang dingin, bikin hidung saya jadi bindeng bak orang pilek. Nafas juga jadi nggak lega. Musim jadi nggak menentu begini. Apa Jakarta sedang diruwat untuk membuang sial dan dosa para pejabat dan konglomerat yang korup lewat banjir? Wallahu alam.

Labels: ,


selengkapnya.....
~ 05 februari 2007 | 12:36 ~
:: jalan pintas