<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d4909163925600774906\x26blogName\x3d::+ada+Ri@Ni+::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://adariani.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3dnl_NL\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://adariani.blogspot.com/\x26vt\x3d-5029570160817150727', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 | 
hits |  online
cerita | opini | blog
:: sekelumit catatan

Melihat ke Belakang

Hari ini saya memang sedang 'biru-birunya'. Maksudnya, ada masalah yang bikin saya benar-benar tertekan. Berjam-jam saya bengong sendirian di kamar yang sengaja dibikin gelap, hingga akhirnya ibu saya datang dan duduk di samping saya yang meringkuk.

"Jangan ngeliat ke belakang terus dong, Mbak," kata ibu saya. "Kamu harus ngeliat ke depan biar bisa maju."

Saya tertegun.

Pikiran saya langsung melayang tentang perumpamaan penumpang kereta api dari alm. Koentowidjojo, salah satu sejarawan sekaligus sastrawan terkenal. Sejarawan itu ibarat orang yang naik kereta sambil menghadap ke belakang; dia bisa melihat ke belakang, ke samping, ke bawah, ke atas, tapi dia nggak bisa melihat ke depan. Maksudnya, sejarawan itu orang yang tugasnya merekonstruksi peristiwa di masa lalu, supaya orang bisa belajar sehingga ke depannya dia tidak berbuat kesalahan yang sama. Namun sejarawan bukan seorang peramal, karena dia tak bisa menentukan hari depan.

Dan saya sadar betul, saya adalah seorang mahasiswa yang sedang dididik untuk menjadi seorang sejarawan. Jelas bukan jadi peramal.

Dari ucapan dari ibu saya, saya sekejap sadar, saya terlalu memikirkan masa lalu. Saya terlalu banyak mengenang keindahan masa lalu tanpa berbuat apa-apa di masa kini, yang akhirnya membuat masa depan tampak menjadi suram.

Jelas, saya terjebak dalam nostalgia.

Ini mungkin sisi buruk dari cara berpikir ala sejarawan yang senantiasa bercermin dari masa lalu. Orang jadi terjebak dalam bayangan masa lalu, sehingga sudah tak bersemangat lagi untuk berbuat sesuatu demi masa depan yang cerah. Tapi mungkin hanya orang yang picik saja yang berpikir seperti itu. Baik atau buruknya masa lalu memang tak bisa dikembalikan atau diubah, tapi bukan berarti hidup menjadi mandeg hanya karena dibayangi masa lalu. Hidup harus terus berjalan, dan hari ini pasti...harus lebih baik dari kemarin.

Hingga ibu saya keluar kamar, saya masih memikirkan hal ini. Baikkah jika kita selalu melihat ke belakang? Banyak orang yang justru tak ingin melihat masa lalu, bahkan ingin melupakannya. Yah, itu juga tidak bagus sih. Bercermin dari masa lalu memang harus, namun jika masa lalu itu buruk, jadikanlah sebagai hikmah tanpa ada keinginan untuk mengubahnya. Jika masa lalu itu baik, jadikanlah sebagai kenangan yang terindah tanpa ada keinginan untuk mengulanginya lagi.

Masa lalu. Masa kini. Masa depan.
Past. Present. Future.

Masa lalu menyisakan kenangan untuk masa kini yang memberikan kesempatan untuk berpikir dan bertindak, karena masa depan telah menunggu sambil berharap, bahwa kita akan datang menyongsongnya dengan gembira, dan mengisinya dengan berbagai keajaiban yang menakjubkan.

Labels:

~ 28 december 2006 | 21:15 ~
:: jalan pintas