<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d4909163925600774906\x26blogName\x3d::+ada+Ri@Ni+::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://adariani.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3dnl_NL\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://adariani.blogspot.com/\x26vt\x3d-5029570160817150727', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 | 
hits |  online
cerita | opini | blog
:: sekelumit catatan

Watashi no Aiki

Seminggu ini saya mengisi kegiatan liburan dengan berlatih aikido di kampus. Lumayan buat gerak badan, daripada saya nggak ngapa-ngapain di rumah seperti pengangguran. Entah mengapa, meskipun latihannya sedikit berat, ada sesuatu yang mengganjal yang bikin saya begitu penasaran dengan aikido. Padahal selama setahun lebih saya bergabung, frekuensi latihan saya naik-turun. Ada saja halangannya, mulai dari tumpukan tugas kuliah hingga mood.

Yang jelas, minggu ini saya benar-benar menikmati latihan aikido. Benar-benar menyenangkan. Mungkin karena akhirnya saya punya teman-teman latihan yang memang benar-benar berniat berlatih aikido, karena itu saya jadi termotivasi untuk rajin. Mood saya benar-benar enak, nggak seperti sebelumnya yang seringkali bingung, sebal ataupun kecewa.

Bagi saya, belajar aikido itu secara hakiki bukan belajar bela diri, walaupun pada awalnya aikidoka [praktisi aikido] mau tak mau harus menghafal dan mempraktikkan waza-nya [jurus]. Belajar aikido adalah belajar berfilsafat. Aneh memang, tapi saya seakan mendapat 'pencerahan' hingga mencapai kesimpulan seperti itu. Konsep keselarasan atas dasar In-Yo [Yin-Yang] menjadi fokus utama: ada kuat ada lemah, ada menang ada kalah, ada hitam ada putih, ada laki-laki ada perempuan. Dan tiap elemen punya porsi, peran dan fungsi masing-masing yang saling melengkapi dan tak terpisahkan, sehingga jika salah satunya hilang, maka keseimbangan akan lenyap. Itulah yang disebut harmony.

Kadang-kadang, akibat ego yang sering kebablasan, manusia jadi bertindak melawan harmonisasi alam. Misalnya pada mesin sebuah jam. Tiap roda gigi punya bentuk, fungsi dan kegunaan masing-masing, yang akhirnya menyebabkan jam bisa berjalan normal. Jika salah satu roda tiba-tiba ingin berputar terbalik dari biasanya, roda-roda lainnya pasti akan kacau, dan bukan tidak mungkin mesin akan hancur, jam pun rusak. Menurut saya, di sinilah fungsi aikido sebagai jalan menuju keselarasan. Aikido, dengan berbagai tekniknya yang begitu lembut sekaligus keras, akan membantu si 'roda gendeng' tadi untuk kembali pada jalan yang benar, yaitu yang selaras dengan roda-roda lain sehingga mesin jam bisa kembali berjalan.

Andaikan saja mesin jam tersebut adalah tubuh, pikiran dan hati manusia. Ego negatif yang menguasai manusia berpotensi besar membuat orang jadi nyeleneh. Jika orang yang bersangkutan bisa mengendalikan dan menguasai egonya supaya bisa selaras dengan lingkungannya dan tetap berada pada jalan menuju kebaikan, itulah yang disebut kemenangan sejati. Istilahnya masakatsu agatsu: kemenangan sejati adalah kemenangan terhadap diri sendiri. Di sinilah saya merasa, jika saya tekun latihan, aikido pasti bisa menolong saya supaya saya bisa mengalahkan ego saya sendiri. Mungkin inilah will-of-fight aikido: menang melawan diri sendiri supaya senantiasa selaras dengan alam.

Kemarin juga, seorang sempai mengatakan bahwa saya punya aiki [energi] yang besar dan sensitif, sehingga mudah di-snap [dijatuhkan], tapi tidak mudah dijatuhkan jika tekniknya tidak tepat. Namun demikian, aiki yang saya punya masih belum terkontrol baik, dan masih ada rasa takut dari saya. Saya jadi merenung, jangan-jangan tipe aiki yang dimiliki tiap orang mencerminkan karakter orang yang bersangkutan. Memang benar, saya belum mampu mengontrol diri sendiri. Saya juga takut untuk 'jatuh', karena saya punya prinsip: kalau jatuh, bangkitlah segera; kalau bisa, jangan sampai jatuh. Padahal, menurut aikido, mana bisa orang bangkit tanpa pernah merasakan sakitnya jatuh. Nggak mungkin orang selalu berada di atas puncak melulu. Begitu mudahnya saya ter-snap mungkin mencerminkan diri saya yang mudah dipengaruhi orang lain.

Tapi baru sekedar menyadari saja belum cukup. It doesn't solve the problem. Orang harus bertindak supaya bisa berubah. Apa aikido masih bisa membantu untuk itu? Pasti bisa, namun faktor yang utama bukan aikido, tapi diri sendiri. Niat untuk berubah muncul bukan karena aikido, tapi karena diri sendiri. Jadi, semuanya tergantung pada orang yang bersangkutan, apakah dia ingin berubah atau tidak.

That's why I really like practising aikido.

Labels: ,

~ 20 januari 2007 | 22:41 ~
:: jalan pintas